Dalam kasus KKR Aceh, sungguh menunjukkan ada upaya penyelesaian dari dengar pendapat korban. Kesaksian untuk memaparkan kasus pelanggaran HAM masa lalu di masa DOM Aceh. Tapi sayangnya pemerintah Indonesia tidak sungguh-sungguh mendukung inisiatif yang ada. Padahal KKR Aceh merupakan mandat MoU Helsinski dan UU pemerintahan
Aksimenuntut pengusutan kasus-kasus pelanggaran HAM, Kamis (21/1). JAKARTA, KOMPAS — Penyelesaian kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia berat Paniai secara tidak langsung akan menjadi upaya merebut kepercayaan warga Papua. Sebentar lagi, kasus itu akan disidangkan di Pengadilan HAM.
Dalamupaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM ini pun digunakan sengketa internasional secara umum dengan skala internasional. Mediasi; Apabila jalan perundingan dan negosiasi sudah dilakukan, maka berikutnya ialah tindak mediasi. Tindak mediasi merupakan suatu tindakan penyelesaian masalah pelanggaran HAM dengan membutuhkan peran orang ketiga
Hakatas nama baik 2.2.Upaya Penyelesaian Kasus Hak Asasi Manusia Upaya penanganan pelanggaran HAM di Indonesia yang bersifat berat, maka penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan HAM, sedangkan untuk kasus pelanggaran HAM yang biasa diselesaikan melalui pengadilan umum.
UpayaPenyelesaian Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia . 1. Peradilan dan Sanksi Atas Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia . Kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia akan senatiasa terjadi jika tidak secepatnya ditangani.Negara yang tidak mau menangani kasus pelanggaran HAM yang terjadi di negaranya akan disebut sebagai
Pertama dengan amnesti, maka korban (victims) pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu tidak memiliki hak (right) lagi untuk melakukan penuntutan, sehingga amnesti juga selanjutnya dipandang sebagai hak dari para korban. Jadi, dalam kasus pelanggaran HAM yang berat konsep amnesti harus dikaji ulang sehingga amnesti tidak saja
e5AVu. BerandaKlinikHak Asasi ManusiaPenyelesaian Pelangg...Hak Asasi ManusiaPenyelesaian Pelangg...Hak Asasi ManusiaSenin, 8 Februari 2021Senin, 8 Februari 2021Bacaan 6 MenitBagaimana mekanisme alur penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia melalui jalur Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi KKR?Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi “KKR” adalah lembaga independen yang dibentuk untuk mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran hak asasi manusia “HAM” yang berat dan melaksanakan rekonsiliasi, yang dasar pembentukannya adalah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi “UU 27/2004”. Namun, UU 27/2004 kini telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi. Apakah ini berarti penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi sudah tidak dimungkinkan lagi? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang selanjutnya disebut Komisi, adalah lembaga independen yang dibentuk untuk mengungkapkan kebenaran atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan melaksanakan yang dimaksud dengan rekonsiliasi adalah hasil dari suatu proses pengungkapan kebenaran, pengakuan, dan pengampunan, melalui KKR dalam rangka menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat untuk terciptanya perdamaian dan persatuan bangsa.[1]KKR ini dibentuk untuk menegakkan kebenaran terhadap pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu sebelum berlakunya UU 26/2000 di luar pengadilan dengan menempuh langkah-langkah berikut; pengungkapan kebenaran, pengakuan kesalahan, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain guna menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa dengan tetap memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat.[2]Amnesti adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden kepada pelaku pelanggaran HAM yang berat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat “DPR”.[3]Selanjutnya, menjawab pertanyaan Anda, mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM yang berat melalui KKR yang kami sarikan dari wewenang KKR serta tugas dan wewenang subkomisi penyelidikan dan klarifikasi dalam KKR adalah sebagai berikut;[4]Penerimaan pengaduan, pengumpulan informasi dan bukti-bukti mengenai pelanggaran HAM yang berat dari korban atau pihak lain;Pencarian fakta dan bukti-bukti pelanggaran HAM yang berat;Mendapatkan dokumen resmi milik instansi sipil atau militer serta badan swasta, baik yang ada di dalam maupun di luar negeri;Pemanggilan terhadap setiap orang yang terkait untuk memberikan keterangan dan kesaksian;Klarifikasi seseorang sebagai pelaku atau sebagai korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat;Penentuan kategori dan jenis pelanggaran HAM yang berat sebagaimana diatur dalam UU 26/2000;Pemutusan pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau itu diatur pula mengenai penyelesaian permohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi dan amnesti sebagai berikut[5]Dalam hal KKR telah menerima pengaduan atau laporan pelanggaran HAM yang berat yang disertai permohonan untuk mendapatkan kompensasi, restitusi, rehabilitasi, atau amnesti, KKR wajib memberi keputusan dalam jangka waktu paling lambat 90 hari terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan;[6]Keputusan tersebut dapat berupa mengabulkan atau menolak untuk memberikan kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi, atau memberikan rekomendasi berupa pertimbangan hukum dalam hal permohonan amnesti;[7]Rekomendasi permohonan amnesti, dalam jangka waktu paling lambat 3 hari terhitung sejak tanggal keputusan sidang KKR, disampaikan kepada Presiden untuk mendapatkan keputusan;[8]Presiden kemudian meminta pertimbangan amnesti kepada DPR dalam jangka waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak tanggal rekomendasi diterima;[9]DPR wajib memberikan pertimbangan amnesti dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak tanggal permintaan pertimbangan Presiden diterima;[10]Keputusan Presiden mengenai mengabulkan atau menolak permohonan amnesti wajib diberikan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak tanggal pertimbangan DPR diterima;[11]Keputusan Presiden kemudian disampaikan kembali kepada KKR dalam jangka waktu paling lambat 3 hari terhitung sejak tanggal diputuskan,[12] dan KKR menyampaikan keputusan Presiden tersebut kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, dalam jangka waktu paling lambat 7 hari sejak tanggal keputusan tersebut diterima oleh KKR.[13]Sebagai catatan, jika pelaku tidak bersedia mengakui kebenaran dan kesalahan serta tidak bersedia menyesali, maka pelaku kehilangan hak mendapat amnesti dan yang bersangkutan diajukan ke Pengadilan HAM Ad Hoc.[14] Penjelasan lebih lanjut mengenai Pengadilan HAM Ad Hoc dapat Anda simak dalam Mengenal Pengadilan HAM Ad yang perlu digarisbawahi dalam pembahasan mengenai KKR ini adalah bahwa UU 27/2004 yang menjadi dasar hukum pembentukan KKR telah dicabut berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-IV/2006 yang menyatakan sebagai berikut hal. 130-131Mahkamah berpendapat bahwa asas dan tujuan KKR, sebagaimana termaktub dalam Pasal 2 dan Pasal 3 undang-undang a quo, tidak mungkin dapat diwujudkan karena tidak adanya jaminan kepastian hukum rechtsonzekerheid. Oleh karena itu, Mahkamah menilai undang-undang a quo secara keseluruhan bertentangan dengan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan dinyatakannya UU KKR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan, tidak berarti Mahkamah menutup upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk itu, antara lain dengan mewujudkan rekonsiliasi dalam bentuk kebijakan hukum undang-undang yang serasi dengan UUD 1945 dan instrumen HAM yang berlaku secara universal, atau dengan melakukan rekonsiliasi melalui kebijakan politik dalam rangka rehabilitasi dan amnesti secara demikian, pada dasarnya KKR sudah tidak mempunyai dasar hukum lagi, namun sebagaimana yang ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan di atas, hal ini tidak menutup adanya upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui upaya rekonsiliasi dengan cara jawaban dari kami, semoga bermanfaat.[1] Pasal 1 angka 2 UU 27/2004[2] Pasal 3 huruf a jo. Penjelasan Umum UU 27/004[3] Pasal 1 angka 9 UU 27/2004[4] Pasal 18 ayat 1 jo. Pasal 7 ayat 1 UU 27/2004Tags
Kelas XIPelajaran PKNKategori Pelanggaran Hak Asasi ManusiaKata Kunci Pelanggaran, PenyelesaianDi Indonesia upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM dilakukan tanpa bantuan dari Mahkamah Internasional dimana kasus pelanggaran HAM di Indonesia ditangani dan diselesaikan melalui proses peradilan di Pengadilan kasus pelanggaran HAM yang berat dan berskala internasional dilakukan proses peradilan sebagai berikut a. Negara yang tengah melakukan penyelidikan, penyidikan atau penuntutan atas kejahatan yang terjadi, maka pengadilan pidana internasional ditolak berada dalam posisi untuk menangani perkara kejahatan tersebut namun dapat diterima apabila negara yang bersangkutan enggan atau tidak mampu untuk melaksanakan tugas investigasi dan Perkara yang telah diinvestigasi oleh suatu negara, namun telah memutuskan untuk tidak melakukan penuntutan lebih lanjut terhadap pelaku kejahatan, maka pengadilan pidana internasional berada dalam posisi ditolak walaupun dapat berubah menjadi diterima jika putusan yang berdasarkan keengganan dan ketidakmampuan dari negara untuk melakukan Pabila pelaku kejahatan telah diadili dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap, maka terhadap pelaku kejahatan tersebut sudah melekat asas nebus in idem dimana seseorang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama setelah terlebih dahulu diputuskan perkaranya oleh putusan pengadilan peradilan yang berkekuatan tetap.
Pelanggaran HAM di Indonesia yang tidak kunjung usai dan upayapenyelesaiannya Reza Maulana1401617107Program Studi Pendidikan Pancasila dan KewarganegaraanJln. Rawamangun Muka Nomor 1 Jakarta TimurUniversitas Negeri Jakarta Jln. Rawamangun Muka Nomor 1 Jakarta T imur, DKI Jakarta, Indonesiarezamaulana_ ppkns1 asasi manusia atau biasa yanglebih dikenal dengan istilah HAMmerupakan salah satu pembahasahan yangtidak ada akhirnya diberbagai diskursusperpolitikan nasional. Isu-su mengenaiHAM menjadi sebuah hal yang sangatsensitif jika dikaitkan dengan peristwa-peristiwa pelanggaran HAM yang terjadipada kurun waktu 20-30 Tahun yang contohnya adalah peristiwapenembakan Mahasiswa Trisakti pada tahun1998 yang hingga saat ini masih menjadienigma. Para aktivis HAM tentu memintabahkan menuntut pemerintah untukmenyeselsaikan berbagai kasus HAM yangtidak terselesaikan di masa lalu. Namunberdasarkan kenyataan yang ada, memangbukan sebuah hal yang mudah untukmenyeselsaikan berbagai kasus wakil presiden republik IndonesiaJusuf Kala seperti yang dilansir melalui usaha untuk penyeselesaianmengenai kasus HAM bukan hanya terjadidi Indonesia, negara Amerika Serikat punhingga saat ini masih berusaha untukmenyelesaikan berbagai permasalahanHAM. Di Amerika Serikat sendiri hinggadetik ini belum diketahui siapa yangmembunuh Presiden Kennedy. Peristiwapembunuhan Presiden Kennedy di AmerikaSerikat dan peristiwa penembahakanMahasiswa Trisakti di Indonesia jika kitatelaah lebih dalam memiliki kaitan ataupersamaan yang sangat erat. Persamaantersebut terletak pada begitu lamban nyausaha pemerintah sebagai salah satu pondasiperlindungan dan penegakan HAM dalammenyelesaikan kedua kasus tersebut yanghingga saat ini masih menjadi enigma sertabelum diketahui siapa pihak yangbertanggung yang sudah dijelaskansebelumnya, salah satu contoh kasuspelanggaran HAM nasional yang sangatmencuat ke permukaan dari tahun 1998hingga saat ini adalah kasus penembakanmahasiswa trisakti di Jakarta pada tanggal12 mei 1998 yang sudah 20 Tahun belummenemui titik terang. Hal ini sebenernyamerupakan sebuah hal yang buruk bagisebuah negara yang menganut prinsiphukum didalam menjalankanpemerintahannya rule of law. Upayapenyelesaian hukum kasus tersebutsebenarnya sudah diaksanakan namunprosesnya masih jalan ditempat. Sebagaicontohnya adalah Komnas HAM pernahmembentuk sebuah badan penyelidikanbernama KPP HAM. Penyidikan pun padasaat itu telah dilaksanakan dan sesuai Tahun 2000, Komnas HAMmenyerahkan hasil penyelidikan yangdilakukan KPP HAM kepada KejaksaanAgung untuk dilakukan penyidikan lebihlanjut. Namun, Kejaksaan Agung menolakmelakukan penyidikan karena menganggapkasus tersebut telah diadili melaluipengadilan militer yang menyatakan bahwapelaku penembakan diduga ialah prajurittanpa identitas dari Kopassus, pada saatyang sama Kapolri pada saat itu Jend.PolDibyo Widodo membantah bahwa polisiataupun brimob terlibat. Kejaksaan Agunglebih lanjut menjelaskan bahwa tidakmungkin sebuah kasus yang sama yangtelah masuk ranah pengadillan milter dapatdiajukan kembali ke pengadilan pristiwa penembakanmahasiswa Trisakti bisa terjadi ? Jika kitakaji secara historis peristiwa penembakanMahasiswa Trisakti sendiri memiliki eratkaitannya dengan aksi demonstrasimahasiswa diberbagai wilayah Indonesiayang berpusat di Jakarta untuk menuntutPresiden Soeharto untuk turun darijabatannya sebagai presiden. Aksidemonstrasi mahasiswa ini sebenarnyacukup mirip dengan gerakan people powerdi negara Filipina dimana masyarakatnyabersatu membentuk sebuah konsolidasi yangbesar guna menggalang kekuatan untukmenghentikan rezim kekuasaan dalam hal ini berpendapatbahwa tidak jelasnya penyelesaian hukumpada kasus penembakan mahasiswa trisaktijustru membuat citra Indonesia didepanmasyarakat hukum internasional mungkin sebuah peristiwapelanggaran HAM yang telah disahkanmelalui deklarasi Hak Asasi Manusia olehPBB sebagai kejahatan internasionalmemiliki sifat ketetapan hukum yang tidakjelas dan tidak diketahui pula pihak yangbertanggung jawab. Selain itu, penulisdalam hal ini berpendapat jika kasus inidibiarkan begitu saja tanpa tindak lanjuthukum yang jelas maka masyarakatIndonesia akan memainkan daya nalar danimajinatif nya untuk menebak-nebak kira-kira siapa pelaku yang bertanggung jawabatas kasus ini. Tentunya hal tersebutmerupakan sebuah hal yang buruk jikasampai itu untuk menanggulangistigma negatif masyarakat hukuminternasional terhadap begitu lambannyapenyelesaian kasus HAM di indonesia, makakita sebagai salah satu bagian darimasyarakat indonesia memerlukan sebuahpendidikan karakter yang berdasarkan padamoral kebangsaan. Upaya preventif terhadapkasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesiadirasa lebih penting ketimbang kita harusmenekankan aspek represif. PelanggaranHAM tidak akan terjadi jika masyarakatyang ada di dalamnya telah cerdas melaluiproses pendidikan dan masyarakat tersebutmengerti bahwa HAM merupakan sesuatuyang penting bagi diri setiap umat preventif yang dapat dilakukanadalah dengan memberikan sebuah edukasimelalui pendidikan di sekolah, seminar,ataupun konferensi terhadap masyarakat luasmengenai hal-hal yang berkaitan denganHak Asasi Manusia serta memberikanpenjelasan tentang mengapa hal-hal tersebutdirasa penting. Berdasarkan Undang-Undang Tahun 2003 tentang sistempendidikan nasional, pasal 3 disebutkanbahwa pendidikan nasionalberfungsi untukmengembangkan kemampuan danmembentuk karakter serta peradaban bangsayang bermartabat dalam rangkamencerdaskan kehidup bangsa. Oleh sebabitulah dinyatakan maka upaya preventifpencegahan pelanggaran HAM melaluipendidikan dirasa penting untuk lebihditekankan. Achmad Husen, MuhammadJapar dan Yuyus Kardiman menuliskanbahwa model pendidikan karakter bangsamerupakan sebuah pendekatan monlitikdiperguruan tinggiJapar, 2017. Penulisberpendapat bahwa pengembanganpendidikan karakter bertujuan untukmemilah dan memilih nilai-nilai yangberkembang di masyarakat menjadi duabagian yakni yang baik dan buruk sehinggamasyarakat dapat membedakan mana yangbaik dan mana yang buruk. Jika semua itutelah mencapai tujuannya maka pelanggaranHak Asasi Manusia dapat dikurangiintensitasnya karena masyarakat telahtercedaskan melalui proses edukasi ataupendidikan. Jika paragraf sebelumnyamenjelaskan upaya penanggulangan sertapencegahan kasus pelanggaran HAM secaraumum. Lalu bagaimanakah upayapenanggulan serta pencegahan kasuspelanggaran HAM secara khusus ? penulisdalam hal merepresentasikan ataumenerjemahkan kata khusus’ untuk lebihmengarahkan arti ke anak’. Pendidikan atauedukasi tentang betapa pentingnya hal-halyang berkaitan dengan HAM secara khususjuga harus ditekankan untuk anak yangnotabene nya merupakan sebuah akarrumput atau grassroot bagi masa depansebuah negara. Oleh sebab itu, melaluikonsep edukasi anak menjadi sebuah halyang penting untuk dikaji lebih dalam. Anakadalah generasi penerus bangsa yangmembutuhkan pendidikan dan pemenuhanhak- haknya untuk dapat tumbuh danberkembang sesuai dengan potensi yangdimilikinyHerlina & Nadiroh, 2018. Untukmenjadikan seorang anak mengerti tentangbetapa pentingnya HAM tentunya kita jugaharus memenuhi terlebih dahulu hal-halyang wajib didapakan seorang anak. Hak-hak tersebut antara lain sebagai berikut 1. Hak kelangsungan Hidup, hakuntukmelestarikan dan mempertahankan hidupdan hak memperoleh standar kesehatantertinggi dan perawatan yang Hak Perlindungan daridiskriminasi,eksploitasi,kekerasan dan Hak tumbuh kembang, hak memperolehpendidikan dan hak mencapai standar hidupyang layak bagi perkembangan fisik,mental,spiritual, moral Hak Berpartisipasi, hak untukmenyatakan pendapat dikutipmelalui Herlina & Nadiroh, 2018Maka jika hak-hak seorang anak telahdipenuhi secara menyeluruh maka seoranganak secara tidak langsung juga akanmengerti bahwa hak-hak yang berkaitandengan diri pribadi nya dirasa pentingsehingga wajib untuk dipenuhi, Makaimplikasi nya seorang anak juga akan lebihmenghargai tentang hak-hak milik oranglain yang wajib dihormati. Daftar PustakaHerlina, N., & Nadiroh, N. 2018. PERAN STRATEGIS RUANG PUBLIK TERPADU RAMAH ANAK RPTRA DALAM RANGKA PEMENUHAN HAK ANAK TERHADAPLINGKUNGAN. JPUD-Jurnal Pendidikan Usia Dini, 121, 104– M. 2017. Pengembangan Model Pendidikan Karakter Berwawasan Kebangsaan Di Perguruan Tinggi, 11, 2012–2015.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Pengertian HAM perlu dipahami oleh setiap orang. Terutama di indonesia yang merupakan negara yang berdasarkan hukum. Hak asasi manusia di indonesia Telah diatur secara tegas pada konstitusi negara dan selanjutnya diperkuat lagi oleh UU No. 39 Tahun 1999. Meskipun di indonesia berdasarkan negara hukum dan HAM di indonesia sudah diatur oleh undang-undang namun masih banyak terjadi kasus pelanggaran ham yang ada di tahunan international day of the right to the truth cobcerning gross human rights violations and for the dignity of victims, atau yang biasa kita tau dengan "Hari Kebenaran Internasional" yang rutin dirayakan setiap tanggal 24 maret ini menjadi pengingat sekaligus menjadi tamparan keras untuk pemerintahan indonesia yang belum serius dalam menanggapi kasus HAM pada masa lalu dan pemerintah indonesia dinilai belum bisa memenuhi hak-hak dari korban HAM di masa lalu kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang sampai sekarang masih belum terselesaikan adalah 1. Peristiwa penghilangan orang secara paksa tahun 1997 dan 1998 2. Kasus penembakan mahasiswa Trisakti tahun 19983. Kasus Wasior dan Wamena pada tahun 2001 dan 2003Contoh kasus di atas sebagai bukti bahwa pemerintah Indonesia dinilai belum serius dalam menanggapi kasus HAM yang terjadi. Banyak dari keluarga korban yang masih menanggung beban dan diskriminasi dari masa penyelesaian kasus HAM yang terjadi ini baiknya pemerintah indonesia lebih serius dalam melakukan penindakan yang lebih serius pada kasus HAM berat yang terjadi di masa lalu tersebut. Dan seperti yang di dorong oleh elsam, pemerintah indonesia harus melakukan 1. Presiden joko widodo, atas nama pemerintah indonesia, harus segera mengakui, menyesali. Dan melakukan permintaan maaf secara resmi, atas berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu, dan melakukan tindakan mendalam dengan berbagai agenda penyelesaian yang menyeluruh baik secara yudisial maupun non Presiden segera menindaklanjuti komitmen dan rencana pembentukan komisi kebenaran dan rekonsiliasi, sebagai bagian dari upaya penyelesaian. Hal ini penting untuk memastikan adanya proses pengungkapan kebenaran serta pemulihan yang efektif bagi korban dan keluarga korban Presiden selaku pemimpin tertinggi pemerintahan harus memastikan Jaksa Agung untuk bekerja sesuai dengan mandatnya, dengan mengacu pada prinsip-prinsip negara hukum "The Rule Of Law" untuk menindak lanjuti berbagai hasil penyelidikan Komnas HAM. Hal tersebut juga untuk mendorong adanya konsolidasi di antara institusi negara dan pemangku kepentingan lainya, seperti Komnas HAM, Komnas Perlindungan Perempuan, lembaga perlindungan saksi dan korban, dan masyarakat sipil dalam upaya mempercepat penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia padamasa lalu 1 2 Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
› Riset›Penyelesaian Kasus Pelanggaran... Diperlukan langkah berani dari pemerintah untuk menguatkan kepercayaan publik pada penyelesaian kasus pelanggaran HAM termasuk tragedi Mei 1998. OlehYohanes Mega Hendarto 5 menit baca KOMPAS/WISNU WIDIANTORO Warga menunggu datangnya armada Bus Transjakarta di Halte12 Mei Reformasi, Grogol, Jakarta, Minggu 6/5/2018. Penamaan halte yang diresmikan pada 2013 ini untuk mengenang empat mahasiswa yang gugur akibat terjangan peluru saat berunjukrasa menuntut reformasi di Kampus Universitas Trisakti, Jakarta pada 12 Mei Mei 1998, Peristiwa Trisakti, Semanggi I-II, dan penghilangan orang secara paksa, adalah ibarat deretan “luka batin” yang menggores perjalanan sejarah bangsa. Meski semakin sayup dalam ingatan publik, tuntutan pemenuhan rasa keadilan masih menjadi hutang segenap pemangku kepentingan di negeri 23 tahun, publik tidak yakin pemerintah akan mampu menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang telah mengubah wajah politik nasional tersebut. Lebih dari separuh responden menyatakan hal itu. Perkembangan sosial politik membuat makin sulit mewujudkan rasa keadilan yang selaras dan mencukupi bagi semua komponen yang terlibat peristiwa tersebut. Tak hanya berbenturan dengan kepentingan politik kontemporer, pemenuhan rasa keadilan bagi satu pihak bisa menjadi rasa ketidakadilan bagi kelompok atau pihak lain yang merasa dipersalahkan. Ada kekhawatiran, kondisi psikologis sosial masyarakat belum sepenuhnya siap untuk menilai dan mengambil sikap sebuah isu sensitif terkait SARA secara ambil contoh dari kasus seputar kerusuhan Mei 1998. Dari dua belas kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di tanah air, ada empat peristiwa yang terjadi menjelang reformasi Indonesia. Selain kerusuhan massa, penculikan aktivis dan penembakan mahasiswa, peristiwa pemerkosaan warga etnis Tionghoa seringkali luput dari pemberitaan terjadi karena tragedi perkosaan saat huru hara cenderung tabu untuk diangkat kembali ke masyarakat, terutama oleh media massa. Padahal, hingga kini pun tragedi tersebut masih meninggalkan trauma dan luka yang sangat dalam bagi para korban dan keluarga SIHOMBING Puluhan ribu massa yang terdiri dari mahasiswa berbagai perguruan tinggi di Jakarta, aktivis, tokoh masyarakat, artis, dosen dan berbagai kelompok profesi lainnya, Rabu 13/5/1998 siang, berbaur menjadi satu saat pemakaman dua jenazah mahasiswa Universitas Trisakti ”Pejuang Reformasi”, Elang Mulya Lesmana dan Heri Hartanto di di Tempat Pemakaman Umum TPU Tanah Kusir Jakarta tentang pemerkosaan massal perempuan etnis Tionghoa, kerapkali berubah menjadi polemik yang menggeser inti kasus. Padahal berdasarkan laporan temuan TGPF peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang dipublikasikan oleh Komnas Perempuan, tindakan perkosaan massal terjadi saat kerusuhan 13-15 Mei seksual tersebut tidak hanya terjadi di Jakarta, tapi juga di Medan, Solo, Surabaya, Medan, dan Palembang. Setidaknya, ada 85 korban sejauh ini yang dapat diverifikasi sebagai korban pemerkosaan, pemerkosaan dengan penganiayaan, serta penyerangan dan pelecehan perjalanan selama ini, para penyintas kekerasan seksual Mei 1998 lebih banyak memilih bungkam karena trauma dan tidak ingin diingatkan kembali pada peristiwa memilukan itu. Menyadari peliknya permasalahan ini, pada Mei 2020 lalu Komnas Perempuan dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban LPSK menggelar “Kampanye Recalling Memory Mei ’98”. Tujuannya, refleksi agar tragedi serupa tidak jajak pendapat, perhatian terhadap pemberitaan perkosaan warga etnis Tionghoa diikuti oleh 46,1 persen responden. Artinya, publik memerhatikan bagaimana media memberitakan terjadinya peristiwa itu sekalipun ada sejumlah pihak yang hak Tiga perempat responden sepakat bahwa peristiwa kekerasan saat kerusuhan Mei 1998 adalah pelanggaran HAM berat. Namun, bagian terbesar responden 42,7 persen menilai bahwa pemerintah belum tuntas menyelesaikan kasus tersebut. Sebesar 37,7 persen responden memandang bahwa selama ini hanya sebagian saja yang penyelesaian berupa pembentukan tim gabungan pencari fakta TGPF dan pengadilan HAM yang sudah dijalankan, tampaknya hanya memuaskan sebagian kecil responden saja 4,7 persen.Meski begitu, respon positif publik terhadap upaya penyelesaian hukum oleh pemerintah kini meningkat menjadi 37,7 persen jika dibandingkan dengan hasil jajak dua tahun lalu Kompas, 13 Mei 2019. Kala itu, hanya 19,6 persen responden saja yang menilai bahwa pemerintah sudah memenuhi pengusutan kasus Mei Presiden Jokowi menemui peserta “aksi kamisan” di Istana Negara pada 31 Mei 2018 juga menyiratkan adanya inisiatif dari pemerintah. Presiden Jokowi kemudian membentuk Tim Terpadu Penanganan Pelanggaran HAM Berat pada 2019 dan meminta Jaksa Agung untuk segera menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Pada Desember 2020, Jaksa Agung membentuk Tim Khusus Penuntasan Dugaan Pelanggaran HAM pada Maret 2021 lalu pemerintah membahas pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat UKP-PPHB. Dikhawatirkan, langkah ini menjadi upaya pemerintah untuk penyelesaian melalui mekanisme non-yudisial dan menghindari proses pengadilan HAM terhadap para SIHOMBING Aparat keamanan bersiaga di kawasan Kampus Universitas Trisakti, Jakarta, Rabu 13/5/1998.Merujuk pada UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, para korban dan keluarga korban berhak mendapat perlindungan fisik dan mental, memperoleh kompensasi, restitusi, serta rehabilitasi. Pemenuhan hak tersebut merupakan lanjutan dari PP Nomor 3 Tahun 2002. Sedangkan dalam PP Nomor 2 Tahun 2002, para saksi pun turut berhak mendapat perlindungan dan perahasiaan dari jajak pendapat Kompas, persoalan pemenuhan hak korban ini juga menjadi poin penting yang disorot. Lebih dari setengah responden justru menyatakan bahwa aspek keadilan menjadi pemenuhan utama hak korban dan keluarga korban yang seharusnya diupayakan pemerintah. Aspek keadilan ini utamanya adalah penuntasan melalui dengan jalur hukum atau pengadilan pemenuhan dari aspek keadilan, para responden turut memperhatikan hak korban dengan menyoroti hak-hak lain yang seharusnya diterima para korban dan keluarga korban. Sebanyak 16,8 persen responden berpendapat bahwa pemenuhan hak material seperti ganti rugi atau santunan dari negara perlu diberikan kepada para korban 13 persen responden melihat bahwa perlu juga memenuhi dari segi sosial, seperti pemerintah mengakui adanya peristiwa perkosaan massal kepada etnis Tionghoa saat huru hara yakinMeskipun pemerintah cenderung mengambil “langkah memutar” untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, keinginan publik untuk penuntasan melalui jalur yudisial tetaplah kokoh. Hal ini terlihat dari separuh lebih responden 56,3 persen, menyatakan bahwa pengadilan yudisial seharusnya menjadi prioritas utama para responden mencoba bersikap realistis terhadap langkah prioritas pemerintah, yakni pemberian santunan dan bantuan bagi keluarga korban 15,2 persen, memberikan pendampingan psikologis kepada korban 15,1 persen, dan meminta maaf kepada para korban dan keluarga korban 10,4 persen.Sayangnya, lebih banyak publik yang tidak yakin bahwa pemerintah mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat Mei 1998 secara tuntas. Alasannya, tragedi Mei 1998 sudah terlalu lama, sebagian tersangka sudah meninggal dan sudah terjadinya sebagian peralihan generasi. Dalam jajak ini pun separuh proporsi responden tidak mengikuti pemberitaan kerusuhan Mei diperlukan langkah berani dari pemerintah untuk menguatkan kepercayaan publik pada penyelesaian kasus Mei 1998. Seiring dengan itu, pembentukan UKP-PPHB, pemenuhan hak-hak korban, serta langkah-langkah selanjutnya perlu terus dikawal. LITBANG KOMPASBaca juga Maaf, Negara Belum Hadir Sepenuhnya
upaya penyelesaian kasus pelanggaran ham